PENDIDIKAN ANAK DALAM KELUARGA
(Studi Komparasi Pemikiran
Jamal Abdurrahman dan Ramayulis)
Warissuddin Soleh, M.A.
Dosen STAI Ma’arif Jambi
ABSTRAK
Pendidikan anak dalam keluarga adalah salah satu
pengetahuan mendasar bagi setiap orang tua. Orang tua yang mendambakan generasi
yang cerdas dan berkualitas harus faham bagaimana cara mendidik anak dalam
keluarga. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan salah satu alternatif
konsep pendidikan anak dalam keluarga. Penelitian ini akan mengkomparasikan
pemikiran dua tokoh pendidikan Islam, yaitu Jamal Abdurrahman dan Ramayulis.
Hasil penelitian menjelaskan urgensi pendidikan anak
dalam keluarga. Al-Qur’an dan Sunnah sebagai dasar utama pendidikan
anak. Metode terbaik dalam mendidik anak adalah sintesis metode keteladanan,
pembiasaan, latihan, dan ceramah. Kaifiat mendidik anak secara bertahap dan
disesuaikan dengan usia, daya pikir, dan emosi anak.
Kata Kunci: Pendidikan
Anak, Jamal Abdurrahman, Ramayulis
A. Pendahuluan
Mewujudkan generasi
yang cerdas, beriman, dan bertakwa adalah tujuan utama pendidikan Islam. Generasi
penerus yang mampu mewujudkan nilai-nilai universal ajaran Islam ke dalam
sendi-sendi kehidupan. Dalam konsep pendidikan Islam, melahirkan generasi yang
sadar dan aktif akan posisinya sebagai hamba Allah dan khalifah Allah di bumi
adalah tujuan ideal pendidikan Islam. Tujuan itu menduduki posisi puncak dalam
hierarki tujuan pendidikan Islam.[1]
Tujuan pendidikan
Islam di atas sangat relevan dengan tujuan pendidikan dalam konteks
keindonesiaan, mengingat mayoritas penduduk bangsa Indonesia adalah beragama
Islam. Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 telah mengamanatkan bahwa
manusia Indonesia adalah manusia yang berketuhanan dan hidup dalam suasana
kemanusiaan, kemasyarakatan, dan kebersamaan yang demokratis. Amanat ini,
secara spesifik dijabarkan dengan Undang-Undang No. 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 yang mengamanatkan bahwa
tujuan pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.[2]
Satu dari tiga
lembaga pendidikan yang bertanggung jawab mewujudkan tujuan pendidikan Islam
tersebut adalah lembaga pendidikan keluarga. Keluarga sebagai unit terkecil
dalam masyarakat adalah tempat pertama ditanamkannya sifat kepribadian anak.
Pendidikan keluarga merupakan pendidikan yang primer dalam membentuk generasi
yang berkualitas.[3]
Mendidik anak dalam
lingkup keluarga bukan urusan yang mudah dan sepele. Mendidik dan mengajar anak
merupakan kebutuhan pokok dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh semua orang
tua.[4]
Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam surat at-Tahrim ayat 6:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu
dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa
yang diperintahkan”.[5]
Melihat urgensinya
pendidikan anak dalam keluarga dalam mewujudkan tujuan ideal pendidikan Islam,
maka penelitian ini akan membahas konsep pendidikan anak dalam keluarga. Konsep
pendidikan anak yang diteliti dalam penelitian ini adalah melihat konsep yang
ditawarkan oleh pakar pendidikan Islam, dalam hal ini peneliti menelaah dan
membandingkan pemikiran dua tokoh, yaitu Jamal Abdurrahman dan Ramayulis. Penelitian
ini adalah bagian dari upaya menggali khazanah pemikiran tokoh pendidikan Islam
dalam rangka memberikan alternatif rujukan dalam mendidik anak dalam keluarga.
B. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, yaitu
suatu pendekatan yang digunakan untuk mengolah data tanpa menggunakan hitungan
angka (statistik). Penelitian ini mengungkapkan pemaparan pemikiran pendapat
para ahli atau fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.[6] Penelitian ini menggunakan metode
penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang mengandalkan
bahan-bahan kepustakaan, seperti
buku, jurnal, artikel, makalah, dan lainnya, sebagai sumber informasi untuk menjawab permasalahan penelitian.[7]
Bahan-bahan tersebut ada yang bersifat primer, yaitu
karya-karya asli Jamal Abdurrahman dan Ramayulis, dan ada yang bersifat
sekunder, yaitu karya-karya orang lain yang membahas tentang pemikiran kedua
tokoh tersebut atau pemikiran yang relevan dengan kedua tokoh tersebut. Bahan
primer dari karya Jamal Abdurrahman adalah bukunya yang bertajuk, “Athfal
al-Muslimin Kaifa Rabbahum an-Nabiyyu al-Amin SAW” (baik versi Arab maupun
terjemahan oleh Agus Suwandi), sementara dari Ramayulis adalah bukunya yang
berjudul, “Ilmu Pendidikan Islam”.
Tahapan penelitian yang dilakukan adalah mengumpulkan
bahan-bahan yang relevan, kemudian bahan-bahan tersebut akan dibaca, dikaji,
dicatat, dan dianalisis. Analisis data adalah rangkaian penelaahan,
pengelompokan, sistematisasi, penafsiran,
dan verifikasi data agar sebuah fenomena memiliki nilai sosial, akademis, dan
ilmiah.[8] Bahan-bahan tekstual tersebut kemudian
dipaparkan dengan menggunakan metode content analysis,
deskriptif-analisis, komparatif, dan
sintesis.[9]
C. Pembahasan dan Hasil
C. 1. Biografi Jamal
Abdurrahman dan Ramayulis
Jamal Abdurrahman dilahirkan di Minya al-Qamh Provinsi
al-Syarqiyah Mesir pada tahun 1969 M. Jamal Abdurrahman dibesarkan di
tengah-tengah keluarga yang taat beragama. Sejak kecil Jamal Abdurrahman sudah memiliki
perhatian serius terhadap ilmu syar’i dan meraih gelar akademik sarjana (Strata Satu) di bidang Sastra Arab di Universitas
Zaqaziq, Mesir. Pada mulanya,
Jamal Abdurrahman banyak menuntut ilmu syar’i di
bawah bimbingan para syekh
dari organisasi Anshar as-Sunnah
al-Muhamadiyyah Mesir. Kemudian Jamal Abdurrahman melanjutkan safari ilmiahnya ke
Kerajaan Arab Saudi dan aktif dalam kegiatan dakwah. Di
daerah selatan Mekkah, Jamal
Abdurrahman ditunjuk sebagai Imam dan Khatib selama 10 tahun. Selama dekade
tersebut, Jamal Abdurrahman banyak
memanfaatkan kesempatan untuk menuntut ilmu kepada para ulama senior setempat. Kemudian Jamal Abdurrahman kembali ke Mesir untuk
menyempurnakan perjalanan dakwahnya hingga
ke seluruh pelosok Mesir.[10]
Kegiatan
yang diampu Jamal
Abdurrahman di Mesir adalah:
a.
Anggota Komisi Ilmiah di majalah at-Tauhid.
b.
Menjadi Direktur (Ketua Bidang) urusan al-Qur’an di kantor pusat organisasi
Anshar as-Sunnah al-Muhamadiyyah.
c.
Direktur Ma’had I’dad ad-Du’at (Lembaga Penyiapan Dai)
di kantor pusat
Ansharus as-Sunnah al-Muhammadiyyah.
Hasil karya Jamal
Abdurrahman adalah sebagai berikut:
a.
Akidah : Lil Uqala’ Faqath, Ahlu al-Izzah
wa Ahlu adz-Dzillah, dan, Washfu al-Huur al-‘Ain.
b.
Fikih :
Adh-Dharrabun li an-Nisa’.
c.
Akhlak : Wala
Taqrabul Fawahisy, Mukhtashar Wala Taqrabul Fawahisy Fakaifa Kana Iqab?.
d.
Pendidikan :
Uzhama al-Athfal dan Athafal al-Muslimin Kaifa Rabbahum an-Nabiyyu al-Amin SAW.[11]
Ramayulis Tuanku
Khatib lahir di Padang Alai Pariaman Sumatera Barat pada tanggal 4 Maret 1945.
Ramayulis adalah Guru Besar Ilmu Pendidikan Islam di Fakultas Tarbiyah dan Ilmu
Keguruan IAIN (sekarang UIN) Imam Bonjol Padang. Ramayulis merupakan profesor
pertama alumni IAIN Imam Bonjol Padang.[12]
Ramayulis
menyelesaikan studi pada Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang (1972),
Studi Purna Sarjana (SPS) di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1977),
menyelesaikan Program S2 di Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(1987), dan selanjutnya menyelesaikan Program S3 dan memperoleh gelar Doktor
dalam bidang Ilmu Agama Islam khususnya Ilmu Pendidikan Islam (1991), dengan Disertasi
“Hubungan Pendidikan Agama Islam di Lingkungan Sekolah dan Lingkungan Keluarga
dengan Sikap Keagamaan Siswa SMA Kodya Padang”.[13]
Ramayulis mengabdikan
ilmunya dengan mengajar pada beberapa perguruan tinggi, diantaranya: Fakultas
Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Imam Bonjol Padang, IAIN Sultan Syarif Kasim
Pekanbaru, IKIP Muhammadiyah Jakarta, STIQ Padang, STAIN Batusangkar, dan STAIN
Bukittinggi. Selain mengajar, Ramayulis pernah menduduki jabatan sebagai Wakil
Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Batusangkar (1977-1981, 1982-1985,
1992-1995), Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Batusangkar (1996-1997),
Ketua STAIN Batusangkar (1997-2001), dan Asisten Direktur Program Pasca Sarjana
IAIN Imam Bonjol Padang (2004-2008).[14]
Ramayulis menulis
karya ilmiah berupa makalah dalam berbagai diskusi dan seminar baik tingkat
regional maupun nasional. Buku hasil karyanya banyak dipakai rujukan berbagai
kalangan dalam menjelaskan konsep pendidikan Islam. Buku-buku yang ditulisnya
antara lain: 1. Pendidikan Islam dalam Rumah Tangga, 2. Pengabdian, 3. Sejarah
dan Pengantar Ushul Fiqh, 4. Metodologi Pengajaran Agama Islam, 5. Psikologi
Agama, 6. Ilmu Pendidikan Islam, 7. Filsafat Pendidikan Islam, dan Ensiklopedia
Tokoh Pendidikan Islam.[15]
C. 2. Pemikiran Jamal Abdurrahman tentang Pendidikan Anak
dalam Keluarga
Urgensi Pendidikan Anak dalam Keluarga
Jamal Abdurrahman
menjelaskan bahwa pada saat anak masih kecil (masa kanak-kanak) merupakan masa
yang paling subur dan penting. Pada masa inilah seorang pendidik bisa
menanamkan prinsip-prinsip yang lurus dan orientasi yang baik dalam jiwa dan
perilaku anak didiknya.[16]
Pada masa itu, anak
siap menerima setiap bentuk pahatan dan cenderung kepada apa yang ditanamkan
kepadanya. Apabila anak sudah dibiasakan melakukan kebaikan, maka akan lahir
generasi yang baik. Kedua orang tua akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan
akhirat, termasuk guru dan pembimbingnya. Sebaliknya, anak yang dibiarkan
melakukan hal-hal yang buruk dan ditelantarkan tanpa pendidikan dan pengajaran,
maka akan lahir generasi yang celaka dan binasa.[17]
Dasar Pendidikan Anak dalam Keluarga
Dasar pendidikan
anak dalam keluarga yang ditawarkan Jamal Abdurrahman adalah al-Qur’an dan Sunnah
Nabi Muhammad SAW. Pertama, berdasarkan al-Qur’an. Hal ini dapat dilihat
ketika Jamal Abdurrahman mendasarkan argumentasi pentingnya pendidikan anak
dalam keluarga berdasarkan surat at-Tahrim ayat 6. Jamal Abdurrahman menyandarkan
pendapatnya kepada sahabat Ali bin Abi Thalib yang dirujuk dalam tafsir Ibnu
Katsir, bahwa menjaga diri dan keluarga dari api neraka adalah dengan
pendidikan dan pengajaran.[18]
Kedua, Jamal Abdurrahman mendasari pemikirannya tentang
pendidikan anak kepada Sunnah Nabi Muhammad SAW. Bukunya yang bertajuk “Athfal
al-Muslimin Kaifa Rabbahum an-Nabiyyu al-Amin SAW”, adalah buku yang khusus
mengkaji cara-cara Nabi Muhammad SAW dalam mendidik dan mengajar anak,
keluarga, dan sahabat-sahabatnya. Jamal Abdurrahman menyatakan bahwa metode dan
kaifiat Nabi Muhammad SAW dalam mendidik anak, keluarga, dan
sahabat-sahabatnya telah terbukti melahirkan generasi terbaik.
Melalui pendidikan
Nabi Muhammad SAW, lahir tokoh-tokoh besar dalam sejarah, seperti Umar bin
Khattab ahli hukum dan pemerintahan, Abu Hurairah ahli hadits, Salman al-Farisi
ahli perbandingan agama, Aisyah binti Abu Bakar ahli hadits, Ali bin Abi Thalib
ahli hukum dan tafsir al-Qur’an, dan lain-lain[19].
Melalui metode pengajaran Nabi Muhammad SAW, juga melahirkan generasi muda yang
berkualitas, memiliki iman yang kuat, akhlak yang mulia, dan otak yang cerdas.
Ibnu Abbas seorang pakar tafsir dan ulama sahabat, Usamah bin Zaid menjadi
Jenderal perang berusia 18 tahun, dan Zaid bin Tsabit berhasil faham bahasa
Ibrani hanya dalam jangka waktu 16 hari.[20]
Itu sebagian contoh generasi cerdas yang lahir dari pendidikan Nabi Muhammad SAW.
Mencontoh Nabi Muhammad SAW dalam hal mendidik ini adalah cara terbaik umat ini
untuk melahirkan generasi emas di masa mendatang.
Metode Mendidik Anak
Menurut analisa
peneliti, Jamal Abdurrahman tidak menjelaskan secara spesifik metode-metode
dalam mendidik anak. Jamal Abdurrahman menjelaskan metode mendidik anak
seiringan dengan kaifiat mendidik anak secara umum. Berdasarkan hasil
penelitian tersebut, ada beberapa metode yang dijelaskan Jamal Abdurrahman
dalam uraian-uraiannya, antara lain: metode pembiasaan, keteladanan, latihan,
ceramah, kisah, dan tanya jawab.
Pertama, metode pembiasaan. Pembiasaan berasal dari kata
“biasa”. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia dijelaskan pengertian kata biasa
adalah lazim atau umum, seperti sedia kala, dan hal yang tidak terpisahkan dari
kehidupan sehari-hari.[21]
Pembiasaan anak untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang baik sejak dini, akan
membuat perbuatan-perbuatan itu menjadi melekat dalam diri anak. Jamal
Abdurrahman memberikan contoh dari Nabi Muhammad SAW yang menginstruksikan anak
salat ketika usia anak sudah sampai 7 tahun,[22]
bahkan dalam pembahasan pendidikan anak usia 0-3 tahun, dicontohkan kebiasaan
Nabi Muhammad yang selalu mengajak cucu-cucunya untuk salat berjamaah. Hasan,
Husein, dan Umamah binti Zainab diriwayatkan sering digendong Nabi Muhammad SAW
dalam salat jamaah. Pembiasaan berbuat kebaikan dan ibadah sudah dididik sejak
usia dini.[23]
Kedua, metode keteladanan. Dalam hal ini secara khusus, Jamal
Abdurrahman menyatakan analisisnya:
“Sesungguhnya kekosongan yang dirasakan oleh manusia pada
masa sekarang adalah merupakan salah satu fenomena yang disebabkan tidak adanya
teladan rabbani yang benar. Sosok tersebut hanya terdapat dalam pribadi
Muhammad SAW, sebagai sosok yang menjadi suri teladan semua insan. Ajarkanlah
anak untuk mencintai Nabi dan mengenalkan mereka kepada puncak keteladanannya”.[24]
Ketiga, metode latihan. Jamal Abdurrahman mengutip pendapat
Imam al-Ghazali dalam hal melatih anak. Metode melatih anak merupakan perkara
yang terpenting dan paling utama. Anak yang terlatih dengan perbuatan kebaikan,
akan tumbuh menjadi anak yang baik dan bahagia di dunia dan di akhirat.[25]
Keempat, metode ceramah. Ceramah yang berisi pesan-pesan hikmah,
nasihat-nasihat, anjuran-anjuran, dan disampaikan dengan lemah lembut adalah
metode Nabi Muhammad SAW dalam mendidik anak-anaknya, keluarganya, dan
sahabat-sahabatnya.[26]
Kelima, Metode kisah. Jamal Abdurrahman memberikan contoh kisah
Nabi Muhammad SAW dengan Anas bin Malik, seorang anak kecil yang menjadi salah
satu khadim (pelayan) Nabi Muhammad SAW. Anas mengatakan, “Sesungguhnya,
dahulu Rasulullah SAW benar-benar bergaul dengan kami”. Nabi Muhammad SAW menceritakan
kepada anak-anak tentang pengalaman masa kecilnya, saat Nabi menghadiri
pertemuan orang-orang dewasa, agar tergambarkan dalam benak anak-anak bagaimana
cara anak-anak muda bergaul dengan orang-orang dewasa dengan baik dan
terhormat.[27]
Keenam, metode tanya jawab. Metode tanya jawab biasa dilakukan
Nabi Muhammad SAW dalam mendidik sahabat-sahabatnya. Tanya jawab adalah salah satu
metode Nabi Muhammad SAW dalam menggali potensi peserta didik.[28]
Kaifiat Mendidik Anak
Kaifiat berbeda
dengan metode. Metode dalam bahasa Arab adalah thariqah,[29]
sedangkan kaifiat dalam bahasa Arab, artinya cara yang baik.[30] Dalam
kbbi, kaifiat diartikan cara yang khusus[31].
Analisia peneliti, metode cara yang umum, dan kaifiat cara yang khusus.
Tabel berikut ini
adalah pemikiran Jamal Abdurrahman tentang kaifiat mendidik anak yang
diklasifikasikan melalui usia anak.
No |
Usia Anak |
Kaifiat Mendidik Anak |
1 |
0-3 tahun |
1.
Berdoa untuk anak saat masih dalam tulang sulbi ayahnya. Ada dua
pengertian dalam kaifiat ini: pertama, ini ajaran untuk memilih calon
pasangan yang baik (saleh/ah), dan yang kedua, ini anjuran untuk memulai
hubungan intim antara suami istri dengan doa kepada Allah SWT.[32] 2.
Berdoa untuk anak ketika masih berupa nuthfah (sperma). Ini
dilakukan setelah suami istri berhubungan intim, dan orang tua banyak
bermohon kepada Allah agar dikaruniai keturunan yang saleh/ah. Landasan
kaifiat ini adalah doa Nabi Muhammad SAW kepada sahabat Abu Thalhah dan
Istrinya Ummu Sulaim.[33] 3.
Orang tua banyak berzikir untuk keselamatan bayi yang akan dilahirkan. 4.
Ayah berkewajiban memberikan nafkah yang halal dan bergizi bagi keluarga.
5.
Mengazankan bayi yang baru lahir. Imam Nawawi mengatakan azan di telingan
kanan bayi dan ikamah di telinga kirinya adalah sunat.[34] 6.
Orang tua gembira dan bersyukur kepada Allah atas kelahiran anaknya. 7.
Mentahnik bayi. Tahnik adalah mengunyah sesuatu lalu
meletakkan dan mengusap-usapkan kunyahan itu di mulut bayi. Tahnik
dilakukan ketika bayi baru lahir. Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan makanan
yang paling utama untuk ditahnik adalah tamar (kurma kering),
kalau susah dikunyah bisa dengan kurma basah (ruthab), kalau tidak ada
bisa dengan sesuatu yang manis, dan madu lebih utama.[35]
8.
Orang tua membentengi bayi dengan banyak zikir kepada Allah SWT. 9.
Memberikan hak waris untuk bayi yang baru lahir. 10.
Membayar zakat fitrah untuk bayi yang baru lahir. 11.
Merayakan kelahiran bayi dengan akikah. 12.
Memberikan nama yang baik untuk anak. 13.
Bercengkrama dengan bayi dengan menciumnya, wajah yang senyum, dan menghiburnya. 14.
Memberi julukan ayahnya dengan nama anak. 15.
Khitan. 16.
Orang tua menyayangi dan memaklumi bayi. Misalnya bayi yang mengompol di
pangkuan orang tua. 17.
Menyusukan anak selama dua tahun. 18.
Memanggil anak dengan panggilan yang baik dan julukan yang baik. 19.
Mengajak salat berjamaah. 20.
Mengajarkan kalimat tauhid. 21.
Memperhatikan penampilan dan potongan rambut anak. Nabi Muhammad SAW menginginkan
anak-anak umat Islam memiliki kepribadian dan penampilan tersendiri. Di sini
Jamal Abdurrahman mencontohkan hadits tentang ketidaksukaan Nabi Muhammad SAW
tentang anak kecil yang rambutnya dipotong sebagian dan dibiarkan pada sisi
yang lain. Hal itu karena ada unsur tasyabbuh (peniruan) dengan gaya
rambut umat non-Muslim.[36] 22.
Mengajarkan etika berpakaian. 23.
Memberi hadiah pada anak, mendoakan, dan mengusap kepalanya. 24.
Menanamkan kejujuran dan tidak suka berbohong. 25.
Memberi waktu kepada anak untuk bermain bersama. 26.
Tidak mengajarkan kemungkaran pada anak sejak dini. |
2 |
4-10 tahun |
1.
Menasihati dan mengajari anak saat berjalan bersama. (bagian dari memanfaatkan
momen kebersamaan) 2.
Menarik perhatian anak dengan ungkapan yang lembut. 3.
Menghargai mainan anak. 4.
Tidak boleh mencela anak. 5.
Mengajarkan akhlak mulia. 6.
Mendoakan kebaikan dan menghindari doa keburukan. 7.
Mengajari anak menyimpan rahasia. Ini latihan untuk menumbuhkan
kepercayaan dirinya. 8.
Makan bersama anak sembari memberikan pengarahan dan meluruskan
kekeliruan mereka dengan bijak/menjelaskan etika makan. (bagian dari
memanfaatkan momen kebersamaan) 9.
Berlaku adil terhadap anak. Tidak membeda-bedakan anak berdasarkan jenis
kelamin. 10.
Melerai anak yang terlibat perkelahian. 11.
Menggali potensi anak. Antara lain dengan tanya jawab dan kompetisi berhadiah. 12.
Melarang anak bermain saat setan berkeliaran. Waktu tersebut disebutkan
dalam hadits saat matahari baru tenggelam.[37] 13.
Memohon perlindungan kepada Allah supaya anak terhindar dari gangguan
setan. 14.
Mengajari anak azan dan salat. |
3 |
10-14 tahun |
1.
Menyuruh anak cepat tidur setelah salat Isya. 2.
Melarang anak tidur telungkup. Tidur telungkup dapat membangkitkan birahi
dan naluri seksual.[38] 3.
Memisahkan tempat tidur anak laki-laki dan anak perempuan. 4.
Membiasakan anak menundukkan pandangan dan menutup aurat. 5.
Meluruskan kekeliruan anak dengan bijak. 6.
Boleh memukul anak dengan peraturan tertentu. Aturan tersebut antara
lain: menghentikan pemukulan ketika anak meminta tolong kepada Allah, jangan
dipukul bagian yang sensitif seperti muka, kemaluan, dan kepala, memukul
tidak dengan emosi, menghukum dengan halus dan lembut, dan memukul dalam
rangka pendidikan. 7.
Jangan memanjakan anak dan menuruti segala kemuannya. Harus ada
pertimbangan matang dalam memenuhi permintaan anak. 8.
Membantu dan mengajari anak apabila tidak mampu melakukan sesuatu. 9.
Mengajari anak cara pengobatan alami. 10.
Berbagi cerita masa kecil yang membangun dengan anak. 11.
Mengajarkan anak etika masuk rumah. 12.
Mengajarkan anak etika meminta izin untuk memasuki kamar orang tua atau
saudara/inya. Utamanya di tiga waktu, yaitu menjelang Subuh, saat waktu
Zuhur, dan sehabis salat Isya, karena di tiga waktu itu aurat sering
terbuka.[39] 13.
Memotivasi anak menghadiri perayaan dan mengunjungi kerabat. 14.
Tidak boleh membuat malu anak di perayaan atau di depan orang lain. 15.
Menganjurkan anak bergaul dan bersikap santun dengan Ulama. 16.
Menjaga anak dari bergaul dengan teman-teman yang jahat. 17.
Mengajari anak etika berbicara dan menghormati yang lebih tua. 18.
Mendidik anak untuk tidak menjengkelkan orang lain, khususnya tetangga. 19.
Memperingatkan anak agar tidak saling mengancam dengan senjata meskipun
bergurau. 20.
Melarang anak mengejutkan orang lain meskipun bergurau. 21.
Melarang anak menyerupai lawan jenis. 22.
Membiasakan anak berpenampilan sederhana dan melatih ketahanan diri. 23.
Mengingatkan anak agar tidak merendahkan orang lain. |
4 |
15-18 tahun |
1.
Orang tua senantiasa menanamkan ketauhidan/keimanan yang benar
kepada anak. 2.
Mengajarkan anak untuk selalu bangun pagi buta dan melarang anak tidur
setelah itu. 3.
Memberi solusi kepada anak untuk memanfaatkan waktu luang. 4.
Meminta anak untuk menceritakan pengalamannya untuk melihat cara berfikirnya. 5.
Senantiasa memelihara aspek keahlian, kecenderungan, dan bakat anak. 6.
Mendukung anak menekuni bidang keahlian yang sesuai dengan bakatnya. 7.
Menanamkan kepada anak kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarganya,
dan sahabat-sahabatnya. 8.
Menanamkan kepada anak kecintaan kepada al-Qur’an dengan membacanya,
memahami isinya, dan mengamalkannya. 9.
Menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai teladan anak. 10.
Menanamkan sikap mandiri dan bekerja keras. 11.
Memotivasi anak untuk rajin belajar. 12.
Mengajarkan syair kepada anak. 13.
Memilihkan anak guru yang saleh. 14.
Memerintahkan anak perempuan untuk berhijab apabila telah dewasa. 15.
Menikahkan anak laki-laki yang sudah dewasa apabila sudah mampu. 16.
Menanamkan kepada anak sifat amanah dan tanggung jawab. 17.
Menasihati anak dengan lebih dahulu memujinya. 18.
Melatih bela diri anak. 19.
Mempersiapkan anak untuk menjadi pejuang di jalan Allah dalam arti luas. 20.
Mengajarkan bahasa asing kepada anak. 21.
Mengajarkan baca tulis bahasa Arab. 22.
Mengajarkan anak untuk berbakti dan beretika dengan orang tua. 23.
Mengingatkan anak kepada Allah saat menghadapi kesulitan. 24.
Mempercayakan tugas penting kepada anak. 25.
Bijak menuntun anak ke jalan kebajikan. |
5 |
Pra-nikah |
1.
Pendidikan seks. Pendidikan seks yang dimaksud adalah menyampaikan
hukum-hukum seputar mukallaf/orang dewasa (baik laki-laki dan
perempuan), ketertarikan biologis kepada lawan jenis, hukum menutup aurat,
menjaga pandangan, tata cara bergaul dengan lawan jenis, dan ilmu pengetahuan
tentang hak dan kewajiban suami istri. Pendidikan seks ini dilakukan secara
bertahap sesuai dengan kematangan daya pikir dan emosi anak.[40] |
6 |
Pesan Luqman berkaitan dengan pendidikan anak |
1.
Tidak menyekutukan Allah. 2.
Kesadaran akan pengawasan dan pengetahuan Allah terhadap hamba-hambanya. 3.
Mendirikan shalat, amar ma’ruf, nahi munkar, dan sabar. 4.
Tidak sombong. 5.
Bersikap moderat. |
C. 3. Pemikiran Ramayulis tentang Pendidikan Anak dalam
Keluarga
Urgensi Pendidikan Anak dalam Keluarga
Ramayulis memandang
mendidik anak dalam keluarga adalah salah satu peran penting lembaga yang
disebut institusi keluarga. Urgensi pendidikan anak dalam keluarga sudah
diisyaratkan al-Qur’an melalui surat at-Tahrim ayat 6.[41]
Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat adalah tempat pertama
ditanamkannya sifat kepribadian anak. Seseorang akan menjadi warga masyarakat
yang baik, bergantung pada sifatnya yang tumbuh dari pendidikannya dalam
keluarga .[42]
Dasar Pendidikan Anak dalam Keluarga
Ramayulis
menjelaskan bahwa setiap aktivitas yang disengaja untuk mencapai tujuan harus
mempunyai dasar atau landasan tempat berpijak yang kokoh dan kuat. Pendidikan
anak dalam keluarga merupakan bagian dari pendidikan Islam secara umum. Ramayulis
membagi dasar pendidikan Islam kepada tiga kategori, yaitu dasar pokok, dasar
tambahan, dan dasar operasional.
Dasar pokok adalah
al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW, dasar tambahan adalah perkataan,
perbuatan, dan sikap para sahabat, Ijtihad para ulama, Mashlahah
Mursalah (kemaslahatan umat), dan ‘Urf (nilai-nilai dan adat
istiadat masyarakat). Dasar operasional pendidikan Islam dikutip Ramayulis dari
pemikiran Hasan langgulung, yaitu enam dasar operasional pendidikan Islam. Enam
dasar operasional pendidikan Islam tersebut adalah dasar sosial, dasar ekonomi,
dasar politik, dasar psikologis, dan dasar filosofis.[43]
Metode Mendidik Anak
Ramayulis
mengemukakan banyak metode dalam ilmu pendidikan Islam. Masing-masing metode
memiliki kelebihan dan kekurangan. Metode terbaik menurut Ramayulis adalah
sintesis dari banyak metode dan prosedur. Hal ini didasarkan atas prinsip bahwa
pembelajaran terbaik terjadi apabila semakin banyak indera peserta didik yang
dapat dirangsang.[44]
Metode-metode yang
dikemukakan Ramayulis antara lain: ceramah, tanya jawab, diskusi, pembagian
tugas, demonstrasi, eksperimen, kerja kelompok, kisah, amsal, targhib,
tarhib, keteladanan, pembiasaan, nasihat, disiplin, partisipasi aktif,
dan pemeliharaan. Khusus dalam pendidikan anak dalam keluarga, Ramayulis lebih
menekankan metode keteladanan, pembiasaan, latihan, dan ceramah yang memberikan
penjelasan yang logis dari orang tua.[45]
Kaifiat Mendidik Anak
Tabel berikut ini
adalah pemikiran Ramayulis tentang kaifiat mendidik anak yang diklasifikasikan
melalui beberapa fase.
No |
Fase |
Kaifiat Mendidik |
1 |
Fase pemilihan jodoh |
1.
Pemilihan pasangan. Memilih calon istri yang dianjurkan agama dengan
kriteria wanita yang salehah, sama derajatnya dengan calon suami (kufu),
wanita yang hidup di lingkungan yang baik, wanita yang jauh hubungan
kekerabatannya dengan calon suami, wanita yang masih gadis, dan wanita yang
subur. Perempuan yang memiliki kecantikan, kekayaan, keturunan, dan beragama
dengan baik adalah ciri ideal calon istri. Kenyataan sulit mendapatkan wanita
seperti itu, maka Nabi Muhammad SAW memberikan skala prioritas dalam memilih
wanita beragama yang taat beribadah dan memiliki akhlak mulia. Dalam hal memilih
calon suami dianjurkan dengan kriteria yang diajarkan agama yaitu laki-laki
muslim, yang taat beribadah, dan akhlaknya mulia.[46]
2.
Khitbah. (meminang) |
2 |
Fase pernikahan |
Kedua mempelai harus memperhatikan beberapa hal, yaitu: 1.
Niat menikah. Pernikahan harus dilandasi dengan niat: (1) Menunaikan Sunnah
Rasul SAW, (2) Pernikahan untuk ketenteraman dan kasih sayang, (3) Pernikahan
untuk mendapatkan keturunan yang saleh/ah, dan (4) Pernikahan untuk menjaga
pandangan dan kemaluan dari perbuatan dosa. 2.
Merenungi khutbah nikah. Khutbah nikah isinya secara garis besar adalah
hak dan kewajiban suami istri. 3.
Membaca doa sebelum melakukan hubungan intim.[47] |
3 |
Fase kehamilan |
1.
Berdoa untuk mendapatkan anak yang saleh/ah. 2.
Orang tua selalu mengkonsumsi makanan dan minuman yang halal. 3.
Menanam niat yang ikhlas dalam mendidik anak. 4.
Suami memenuhi kebutuhan istri. 5.
Kedua orang tua selalu mendekatkan diri kepada Allah melalui ibadah wajib
dan sunat. 6.
Kedua orang tua berakhlak mulia. Kasih sayang, sopan, lemah lembut,
pemaaf, menjaga ucapan, dan rukun dengan keluarga dan tetangga adalah
contoh-contoh akhlak yang terpuji yang mesti dilakoni kedua orang tua.[48] |
4 |
Fase bayi (usia 0-2 tahun) |
1.
Mengeluarkan zakat fitrah. 2.
Mendapat hak waris. 3.
Menyampaikan kabar gembira dan ucapan selamat atas kelahiran bayi. 4.
Membaca azan dan ikamah di telinga bayi. 5.
Akikah. 6.
Memberi nama yang baik. 7.
Mengarahkan melafalkan kata-kata yang baik. 8.
Kedua orang tua sudah menjadi contoh teladan yang baik bagi anak. |
5 |
Fase kanak-kanak (usia 2-6 tahun) |
1.
Tidak boleh membentak anak. 2.
Membimbing anak sehingga ia mengetahui penghargaan terhadap nilai-nilai. Membimbing
dengan cara mengarahkan potensi anak kepada hal-hal yang positif. Anak saat usia
ini memiliki kecenderungan senang meniru. Anak lebih menyukai gerakan-gerakan
dibandingkan contoh-contoh verbal. 3.
Posisi orang tua mengambil jalan tengah, yaitu tidak terlalu lunak dan
tidak terlalu ekstrim. Memberikan keleluasaan bermain untuk anak, tetapi
masih tetap dalam pengawasan orang tua. 4.
Mengenalkan Allah sesuai dengan daya nalarnya. Anak harus dikenalkan
kepada Allah melalui gambaran Allah yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan
sebagainya dari sisi yang indah dan menarik. Anak jangan diperkenalkan dengan
siksa, neraka, dan hal-hal yang membuatnya tidak simpati dengan tuhan.[49] |
6 |
Fase anak-anak (usia 6-12 tahun) |
1.
Pembinaan keimanan. Mengenalkan Allah SWT yang Maha Pengasih Maha
Penyayang. Sama seperti fase sebelumnya, fase ini juga mengenalkan tauhid
dari sisi Rahman Rahim-Nya. 2.
Mengajarkan al-Qur’an. 3.
Latihan ibadah salat dan puasa. 4.
Pembinaan akhlak mulia.[50] |
7 |
Fase remaja (usia 12-21 tahun) |
1.
Menjadi teman bagi anak. 2.
Menyadarkan identitas diri anak sebagai hamba Allah dan khalifah Allah di
bumi dengan segala tanggung jawabnya. 3.
Menanamkan rasa percaya diri pada anak dan siap mendengarkan
pendapat-pendapatnya. 4.
Menyarankan agar menjalani persahabatan dengan teman-teman yang baik. 5.
Mengembangkan potensi anak sesuai dengan bakat dan minatnya. 6.
Menganjurkan puasa sunat sebagai benteng akhlak.[51] |
8 |
Fase dewasa |
1.
Majlis ta’lim 2.
Majlis zikir 3.
Talqin ketika sakarat
al-Maut (detik-detik menjelang kematian).[52] |
C. 4. Komparasi pemikiran Jamal Abdurrahman dan Ramayulis
Berdasarkan
pembahasan di atas, peneliti akan membandingkan titik persamaan dan perbedaan
dua pemikir pendidikan Islam ini. Persamaan Jamal Abdurrahman dan Ramayulis
menurut analisa peneliti adalah:
1.
Pendidikan
anak dalam keluarga menempati posisi penting dalam membentuk kepribadian anak.
2.
Dasar
utama pendidikan anak dalam keluarga adalah al-Qur’an dan Sunnah Nabi
Muhammad SAW.
3.
Metode
yang paling menentukan dalam mendidik anak dalam keluarga adalah keteladanan,
pembiasaan, latihan, dan ceramah.
4.
Kaifiat
mendidik anak dalam keluarga adalah bertahap, disesuaikan dengan usia, daya
pikir, dan emosi anak. Keikhlasan, kesabaran, kasih sayang, dan doa yang tulus
kepada Allah adalah kunci-kunci utama kaifiat mendidik anak.
Perbedaan pemikiran
antara Jamal Abdurrahman dan Ramayulis menurut analisa peneliti adalah:
1.
Dasar
pendidikan Islam yang dijelaskan Ramayulis lebih luas dari Jamal Abdurrahman.
Ramayulis mengemukakan bahwa dalam hal mendidik ada dasar pokok, dasar
tambahan, dan dasar operasional.
2.
Kaifiat
mendidik anak Jamal Abdurrahman lebih rinci dari sisi teknis pelaksanaannya,
sedangkan dari fase pendidikannya, Ramayulis lebih lengkap. Perbedaan kedua
tokoh ini disebabkan perbedaan titik pandang utama dalam mendidik anak. Jamal
Abdurrahman lebih menekankan kepada cara Nabi Muhammad SAW dalam mendidik anak
melalui penelusuran Sunnah-Sunnah Nabi, sedangkan Ramayulis, selain
dilengkapi dengan Sunnah-Sunnah Nabi, juga melihat lebih banyak dari
sudut psikologi. Perbedaan kultur dua tokoh ini juga membuat sedikit perbedaan
dalam hal kaifiat mendidik anak.
D. Penutup
Jamal Abdurrahman dan Ramayulis adalah tokoh pendidikan Islam. Pemikiran
keduanya dalam pendidikan Islam, khusus pendidikan anak dalam keluarga patut
menjadi acuan bagi para orang tua dan pendidik. Pemikiran kedua tokoh ini
menambah khazanah pemikiran pendidikan anak dalam keluarga. Kedua tokoh ini
memiliki kesamaan prinsipil di bidang urgensi, dasar, dan metode pendidikan
anak dalam keluarga, meskipun dalam bidang kaifiat pendidikan anak dalam
keluarga terdapat beberapa perbedaan karena berbeda penekanan sudut pandang dan
kultur keduanya.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah:
1.
Pendidikan
anak dalam keluarga adalah pendidikan utama dan pertama dalam membentuk anak
yang saleh/ah.
2.
Dasar
pokok pendidikan anak dalam keluarga adalah al-Qur’an dan Sunnah Nabi
Muhammad SAW. Dasar pelengkapnya adalah perkataan, perbuatan, dan sikap para
sahabat, Ijtihad para ulama, Mashlahah Mursalah (kemaslahatan
umat), dan ‘Urf (nilai-nilai dan adat istiadat masyarakat).
3.
Metode
utama dalam mendidik anak dalam keluarga adalah keteladanan, pembiasaan,
latihan, dan ceramah (nasihat, motivasi, dan peringatan).
4.
Kaifiat
mendidik anak dalam keluarga adalah bertahap, disesuaikan dengan usia, daya
pikir, dan emosi anak. Keikhlasan, kesabaran, kasih sayang, dan doa yang tulus
kepada Allah adalah kunci-kunci utama kaifiat mendidik anak.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Jamal. Athafal
al-Muslimin Kaifa Rabbahum an-Nabiyyu al-Amin SAW. Mekkah: Daru Thaibah al-Khudhara’a, 2004.
___________,_____. Islamic Parenting: Pendidikan Anak Metode Nabi,
Terj. Agus Suwandi. Solo: Aqwam, 2010.
As-Sulaiman, Abdullah, bin, Abdussalam. Tarbiyah al-Aulad fi Dha’i
al-Kitab wa as-Sunnah. Riyadh: Darul Muhsin, 2010.
Aziz, Abdul, Hamka. Pendidikan Karakter Berpusat Pada Hati; Akhlak Mulia
Pondasi Membangun Karakter Bangsa. Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2011.
Jono, Muhammad, dkk., “Peranan Prof. DR. H. Ramayulis dalam Pengembangan
Pendidikan Islam di Sumatera Barat 1945-2015”. Jurnal Pendidikan Tambusai, Volume
3, Nomor 6 Tahun 2019.
Kaelan. Metode Penelitian
Kualitatif bidang Filsafat. Yogyakarta: Paradigma, 2005.
KBBI Web, https://kbbi.web.id/biasa, https://kbbi.web.id/kaifiat, diakses pada tanggal 30 November 2020.
Moleong, J, Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001.
Ningrum, Setia, Lis, Dwi, Skripsi:
“Pola Pendidikan Anak dalam Islam (Telaah Terhadap Terjemahan Kitab Athfal
al-Muslimin Kaifa Rabbahum an-Nabiyyu al-Amin SAW”. Kudus:
STAIN Kudus, 2016.
Nizar, Samsul dan Ramayulis. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta:
Kalam Mulia, 2010.
Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam
Mulia, 2008.
Singarimbun, Masni. Metode Penelitian
survey. Jakarta: LP3ES, 1989.
Taufikurrahman. “Pendidikan Era Rasulullah di Mekkah dan Madinah”. Jurnal
Al-Makrifat, Volume 3, Nomor 1, April 2018.
Tobroni dan Suprayogo, Imam. Metodologi
Penelitian Sosial-Agama. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2003.
Yayasan Penyelenggara/Penafsir al-Qur’an Penerbit Kalim. Al-Hidayah
Al-Qur’an Tafsir Per Kata Tajwid Kode Angka. Tangerang Selatan: Kalim,
2010.
Yunus, Mahmud. Kamus Arab Indonesia. Jakarta: Mahmud Yunus Wa
Dzurriyah, 2009.
[1]
Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam
Mulia, 2010). Hal. 119.
[2] Hamka Abdul Aziz, Pendidikan
Karakter Berpusat Pada Hati; Akhlak
Mulia Pondasi Membangun
Karakter Bangsa, (Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2011).
Hal. 9.
[3] Ramayulis, Ilmu
Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2008). Hal. 282.
[4]
Jamal Abdurrahman, Islamic Parenting: Pendidikan Anak Metode Nabi, Terj.
Agus Suwandi, (Solo: Aqwam, 2010). Hal. xv.
[5]
Yayasan Penyelenggara/Penafsir al-Qur’an Penerbit Kalim, Al-Hidayah
Al-Qur’an Tafsir Per Kata Tajwid Kode Angka, (Tangerang Selatan: Kalim,
2010). Hal. 561.
[6] Lexy
J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2001). Hal. 1.
[7] Masni
Singarimbun, Metode Penelitian survey, (Jakarta: LP3ES,
1989). Hal. 45.
[8] Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi
Penelitian Sosial-Agama, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2003). Hal.
191.
[9] Kaelan,
Metode Penelitian Kualitatif bidang Filsafat, (Yogyakarta:
Paradigma, 2005). Hal. 94.
[10] Dwi Lis Setia Ningrum, Skripsi: “Pola
Pendidikan Anak dalam Islam (Telaah Terhadap Terjemahan Kitab Athfal
al-Muslimin Kaifa Rabbahum an-Nabiyyu al-Amin SAW”, (Kudus: STAIN Kudus, 2016).
Hal. 37.
[11] Jamal
Abdurrahman, Athafal al-Muslimin Kaifa
Rabbahum an-Nabiyyu al-Amin SAW,
(Mekkah: Daru Thaibah al-Khudhara’a, 2004). Hal. 204.
[12] Muhammad
Jono, dkk., “Peranan Prof. DR. H. Ramayulis dalam Pengembangan Pendidikan
Islam di Sumatera Barat 1945-2015”, Jurnal Pendidikan Tambusai, Volume 3
Nomor 6 Tahun 2019. Hal. 1382.
[13] Ramayulis
dan Samsul Nizar, Op. Cit. Hal. 403.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16]
Jamal Abdurrahman, Islamic Parenting: Pendidikan Anak Metode Nabi, Terj.
Agus Suwandi, Op. Cit. Hal. xiv.
[17] Ibid.
[18] Ibid.
Hal. xv.
[19]
Taufikurrahman, “Pendidikan Era Rasulullah di Mekkah dan Madinah”,
Jurnal Al-Makrifat, Volume 3, Nomor 1, April 2018. Hal. 47.
[20]Jamal
Abdurrahman, Islamic Parenting: Pendidikan Anak Metode Nabi, Terj. Agus
Suwandi, Op. Cit. Hal. 269.
[21]
KBBI Web, https://kbbi.web.id/biasa,
diakses pada tanggal 30 November 2020.
[22]
Jamal Abdurrahman, Islamic Parenting: Pendidikan Anak Metode Nabi, Terj.
Agus Suwandi, Op. Cit. Hal. 142.
[23] Ibid. H.
80.
[24] Ibid. H. 225.
[25] Ibid. Hal. xvii.
[26] Ibid. Hal. 104.
[27] Ibid.
Hal. 176.
[28] Ibid.
Hal. 133.
[29]
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Op. Cit. Hal. 184.
[30] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Mahmud Yunus Wa
Dzurriyah, 2009). Hal. 389.
[31] KBBI Web, https://kbbi.web.id/kaifiat,
diakses pada tanggal 30 November 2020.
[32]
Jamal Abdurrahman, Islamic Parenting: Pendidikan Anak Metode Nabi, Terj.
Agus Suwandi, Op. Cit. Hal. 26.
[33] Ibid. Hal. 27.
[34]
Abdussalam bin Abdullah as-Sulaiman, Tarbiyah al-Aulad fi Dha’i al-Kitab wa
as-Sunnah, (Riyadh: Darul Muhsin, 2010). Hal. 21.
[35] Ibid. Hal. 22.
[36]
Jamal Abdurrahman, Islamic Parenting: Pendidikan Anak Metode Nabi, Terj.
Agus Suwandi, Op. Cit. Hal. 84.
[37] Ibid. Hal. 139.
[38] Ibid. Hal. 153.
[39] Ibid. Hal. 180.
[40] Ibid. Hal. 285-298.
[41] Ramayulis, Ilmu
Pendidikan Islam, Op. Cit. Hal. 281.
[42] Ibid. Hal. 282.
[43] Ibid.
Hal. 121-131. Lihat juga Ramayulis dan Samsul Nizar, Op. Cit. Hal. 107-114.
[44] Ibid. Hal. 190.
[45] Ibid.
Hal. 324.
[46] Ibid. Hal. 302-306.
[47] Ibid.
Hal. 307.
[48] Ibid. Hal. 313.
[49] Ibid.
Hal. 320.
[50] Ibid.
Hal. 321.
[51] Ibid.
Hal. 326.
[52] Ibid. Hal. 330.